Minggu, 14 November 2010

Peran Teknologi dalam Tanggap Bencana

Sabtu, 13 November 2010 - 12:10 wib

Image: corbis.com
GOENAWAN Mohamad, seorang wartawan senior Tempo, pernah mengatakan dalam akun Twitter-nya, “Mungkin bangsa ini memang membutuhkan seorang menteri penanggulangan bencana.”

Pernyataan itu bukanlah sebuah pernyataan yang tidak didasarkan pada hal yang esensial. Kondisi geografis Indonesia memang rawan bencana. Catatan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan sekurangnya ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami. Belum lagi ditambah dengan potensi gunung api yang dimiliki Indonesia.

Selain dikepung tiga lempeng tektonik dunia, Indonesia juga merupakan jalur Cincin Api Pasifik (The Pacific Ring of Fire) yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Cincin Api Pasifik membentang di antara subduksi maupun pemisahan lempeng Pasifik dengan lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, lempeng Amerika Utara, dan lempeng Nazca yang bertabrakan dengan lempeng Amerika Selatan.

Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah dan hampir 70 di antaranya masih aktif. Maka, potensi terjadinya bencana memang sulit dihindari. Pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie waktu itu tentang bencana Mentawai misalnya sesungguhnya tidak menunjukkan sikap tanggap bencana yang harus dimiliki penduduk yang mendiami wilayah penuh potensi bencana ini.

Tanggap bencana bukan berarti lari dari kenyataan dan meninggalkan area bencana. Sudah saatnya Indonesia memandang kemajuan teknologi dengan lebih bijak. Kemajuan teknologi di Indonesia tentu bukan sekadar wewujud pada peringkat keempat sebagai pengguna akun Facebook di dunia. Kemajuan teknologi juga harusnya tidak sekadar diindikasikan oleh munculnya kejadian-kejadian maupun nama tokoh Indonesia sebagai trending topic di Twitter.

Kemajuan teknologi seharusnya berarti peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu kemajuan teknologi itu harusnya diperlihatkan dalam persoalan mitigasi bencana. Marilah kita menengok negara saudara sesama Asia, Jepang. Negara itu juga merupakan negara dengan potensi gempa dengan kekuatan yang besar. Hampir setiap minggu terjadi gempa bumi dengan kekuatan sedang di Jepang.

Namun, kemajuan teknologi di negara tersebut berdampak positif terhadap tanggap bencana sehingga dapat membantu proses evakuasi serta meminimalkan kerugian materiil maupun moril. Jumlah korban jiwa dapat diminimalkan dengan evakuasi yang cepat setelah ada informasi dari pengamatan secara teknologi. Inilah saatnya bagi Indonesia untuk benar-benar mengoptimalkan penggunaan teknologi dalam mitigasi bencana. Sebenarnya setelah gempa bumi dan tsunami hebat tahun 2004 lalu di Aceh, beberapa alat pendeteksi gempa telah terpasang di beberapa titik di lautan Indonesia.

Namun, tidak kurang dari satu tahun lamanya alat-alat tersebut sudah rusak atau tidak berfungsi dengan baik. Padahal biaya yang diperlukan dalam investasi peralatan keselamatan bencana ini juga tidak sedikit. Pemerintah berkewajiban menyediakan teknologi memadai dan integrasi sistem peringatan dini terhadap bencana. Masyarakat pun dapat berkontribusi dengan menjaga alat-alat tersebut agar pemakaiannya dapat optimal.

Selain itu, masyarakat juga perlu peka terhadap segala bentuk peringatan yang muncul. Hal ini penting karena selama ini masih banyak masyarakat yang mengabaikan peringatan dan kemudian menjadi korban dalam bencana alam. Sekali lagi, tanggap bencana bukan sekadar menyelamatkan yang tersisa dan mengevakuasi jenazah yang meninggal ketika bencana terjadi. Tanggap bencana ialah mengerahkan seluruh daya untuk mengantisipasi dan meminimalkan dampak bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar